Labuha merupakan kota terbesar di Pulau Bacan dan
di belakang sebuah gereja Protestan terdapat lokasi wisata yaitu Benteng
Bernaveld yang dibangun Portugis untuk menahan gerak maju Spanyol di wilayah
ini. Benteng ini kemudian dikuasai oleh Belanda pada tahun 1609 dan dikelilingi parit serta beberapa
meriam karena itu disebut-sebut sebagai salah satu benteng paling menarik di Maluku Utara.
Senin, 03 Juni 2013
Benteng Naka adalah salah satu benteng yang terdapat tepat
di samping utara Kadaton Sultan Ternate. Benteng ini dibangun oleh Belanda dengan tujuan untuk mengawasi gerak-gerik
Sultan Ternate. Pada waktu itu, Masyarakat setempat biasanya menyebut benteng itu dengan sebutan benteng Naka atau Kota
"Naka" yang berarti Nangka, karena bau nangka yang telah matang akan
mudah tercium oleh banyak orang, maka sama
seperti tugas benteng ini yaitu menyebarkan
kabar tenteng kegiatan Sultan dan kerabatnya di Kedaton.
Riwayat Hidup Armijn Pane
Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar
Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Nama itu ia gunakan dalam
majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji
Islam. Di samping itu, ia mempunyai nama samaran Adinata, A. Jiwa,
Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono. Ia dilahirkan tanggal 18 Agustus 1908 di
Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Ia adalah anak ketiga
dari delapan bersaufara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang seniman
daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok
Haleoan. Selain sebagai sastrawan, ayah Armijn Pane juga menjadi guru.
Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi sarjana ilmu
politik yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik. Armijn Pane
menjadi guru Taman Siswa dan Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya
dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Keluarga Tokoh Sastrawan Armijn Pane
Ayah Armijn Pane juga seorang aktivis Partai Nasional pada masa
Pergerakan Nasional di Palembang. Hal itu menyiratkan bahwa ayah mereka
termasuk golongan yang cinta tanah air. Rasa cinta terhadap tanah air ini juga
diwariskan kepada anaknya, baik Armijn Pane, Sanusi Pane, maupun Lafran Pane.
Pada Armijn Pane hal itu dapat kita lihat dalam sajaknya Tanah Air dan
Masyarakat dalam Gamelan Djiwa, bagian dua. Sayang sekali,
ayahnya telah mengecewakan Armijn Pane karena ia menikah lagi dengan
wanita lain. Kekecewaan itu terus berbekas sampai akhir hayatnya.
Armijn Pane meninggal dunia pada hari Senin, tanggal 16 Februari
1970, pukul 10.00, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62
tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia
diserang pneumonic
bronchiale. Tempat peristirahatannya yang terakhir ada di pemakaman
Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi Pane, yang meninggal
satu tahun sebelumnya.
Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya
berusia enam tahun yang pada saat ia meninggal beralamat di Jalan Setia Budi II
No. 5 Jakarta.
Armijn Pane mengawali pendidikannya di Hollandsislandse School
(HIS), Padang Sidempuan dan Tanjung Balai. Kemudian, ia masuk Europese Lagere
School (ELS), yaitu pendidikan untuk anak Belanda di Sibolga dan Bukittinggi.
Pada tahun 1923 ia menjadi studen stovia (sekolah kedokteran) di Jakarta.
Namun, ia tidak melanjutkannya. Tahun 1927 ia pindah ke Nederlands-Indische
Artsenschool (Nias) ‘sekolah kedokteran’ (Nias) yang didirikan tahun 1913 di
Surabaya.Jiwa seninya tidak dapat dikendalikan sehingga ia masuk ke AMS bagian
AI Jurusan Bahasa dan Kesusastraan di Surakarta hingga tamat tahun 1931.
Ia juga menjadi guru bahasa dan sejarah di perguruan Taman Siswa
di Kediri dan di Jakarta. Oleh karena itu, salah seorang tokoh Taman Siswa, Pak
Said, atas nama seluruh warga Taman Siswa menyampaikan penghargaan atas jasa
almarhum dalam upacara pemakamannya.
Pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya melatarbelakangi ciptaannya yang tokohnya seorang dokter, seperti dr. Sukartono, dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama Antara Bumi dan Langit. Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar ilmu kedokteran yang dimiliki tokoh karena yang ditonjolkan perilaku tokoh dokter. Hal itu mungkin disebabkan ia pernah bersekolah di kedokteran, tetapi tidak tamat, sehingga ia tidak menghayati segala hal yang berhubungan dengan ilmu kedokteran. Armijn Pane tidak tertarik oleh dunia kedokteran, tetapi tertarik dunia seni. Untuk itu, ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.
Pengalamannya sebagai studen kedokteran (Stovia) di Jakarta dan Surabaya melatarbelakangi ciptaannya yang tokohnya seorang dokter, seperti dr. Sukartono, dalam novel Belenggu dan dr. Abidin dalam drama Antara Bumi dan Langit. Dalam kedua cerita itu tidak tampak hal-hal yang mendasar ilmu kedokteran yang dimiliki tokoh karena yang ditonjolkan perilaku tokoh dokter. Hal itu mungkin disebabkan ia pernah bersekolah di kedokteran, tetapi tidak tamat, sehingga ia tidak menghayati segala hal yang berhubungan dengan ilmu kedokteran. Armijn Pane tidak tertarik oleh dunia kedokteran, tetapi tertarik dunia seni. Untuk itu, ia mampu menamatkan pendidikannya di AMS AI (Jurusan Kebudayaan Timur) di Solo.
Tahun 1949 Armijn Pane kembali ke Jakarta dari pengungsiannya di
Yogyakarta. Setibanya Armijn Pane di Jakarta, ia masuk di bidang penerbitan.
Armijn Pane mengasuh majalah Indonesia yang berisi 124 halaman
sejak Februari 1955 bersama Mr. St. Moh. Syah dan Boeyoeng Saleh. Armijn
menulis Produksi Film Cerita di Indonesia setebal 112 halaman
dalam majalah itu. Di samping itu, ia juga memimpin majalah Kebudayaan
Timur yang dikeluarkan oleh kantor Pendidikan Kebudayaan.
Di dalam dunia sandiwara, ia merupakan anggota terkemuka
gabungan usaha sandiwara Jawa, di samping sebagai Ketua Muda Angkatan Baru,
perkumpulan seniman di kantor kebudayaan itu. Ia memulai kariernya sebagai
pengarang dan sastrawan ketika ia menjadi wartawan dan sebagai guru di
Pendidikan Taman Siswa. Ia pernah mengajar bahasa dan sejarah di Sekolah Taman
Siswa di Kendiri, kemudian di Jakarta.
Kariernya dalam bidang penerbitan dirintis di Balai Pustaka,
sebagai pegawai. Tahun 1936 Armijn diangkat menjadi redaktur. Pada zaman Jepang
ia menjabat Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat Kebudayaan Jakarta. Di samping
itu, tahun 1938 ia menjadi Sekretaris Kongres Bahasa Indonesia. Ia juga
merupakan penganjur Balai Bahasa Indonesia dan di zaman Jepang ia menjadi
anggota komisi istilah.
Dalam dunia organisasi kebudayaan/kesastraan, Armijn Pane juga
aktif. Ia menjadi Sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Selanjutnya,
ia menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) setelah tahun
1950. Dalam penerbitan, Armijn Pane tidak hanya berkecimpung dalam
majalah Pujangga Baru, tetapi juga menjadi anggota dewan redaksi
majalahIndonesia. Dalam dunia film, Armijn aktif sebagai anggota sensor
film (1950—1955).
Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.
Atas jasanya dalam bidang seni (sastra), ia memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah tahun 1969.
Dalam menjalani tugasnya, baik di zaman Belanda, zaman Jepang,
maupun zaman republik, Armijn sering menyaksikan hal yang tidak beres yang
menusuk hati nuraninya. Ketika ia menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Pusat
Kebudayaan, atasannya, orang Jepang, menunjukkan majalah yang bersisi berita
tentang dilancarkannya armada Jepang oleh armada Sekutu di sekitar Morotai.
Jepang meminta Armijn agar membuat beritanya. Karena Armijn seorang yang polos,
jujur, dan tidak pernah mengubah fakta, dibuatnya laporan. Akibatnya, ia harus
berhadapan dengan kempetai sehingga ia menderita lahir dan batin akibat
perlakukan kasar kempetai yang kemungkinan ingin menguji keberpihakan
Armijn. Hal itu merupakan salah satu pengalaman pahitnya yang menyebabkan
dirinya terkena pukulan batin terus-menerus dalam pekerjaannya.
Dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia, Armijn
terkenal sebagai salah seorang pelopor pendiri majalah Pujangga Baru tahun
1933. Mulai tahun 1933—1938 ia menjabat sekretaris redaksi majalah itu.
Novelnya, Belenggu, sebelum diterbitkan sebagai buku, dimuat
dalam majalah Pujangga Baru. Prof. Dr. Teeuw menyatakan bahwa
Armijn Pane adalah pelopor Angkatan 45. Akan tetapi, Dr. H.B. Jassin
menyangkalnya karena, baik dalam prosa maupun puisi, terlihat gaya
impresionistis, terutama sajaknya. Dalam novelnya Belenggu ditemukan
gaya romantis sehingga tampak suasana yang diliputi perasaan yang
terayun-ayun serta pikiran yang menggembirakan dan menyedihkan silih
berganti. Padahal, Angkatan 45 banyak menunjukkan karya yang bergaya
ekspresionistis. Dengan demikian, Dr. H.B. Jassin menyanggah pendapat Prof.
Teeuw.
Karya Armijn Pane memperlihatkan adanya pengaruh Noto Soeroto,
Rabindranath Tagore, Krisnamurti, dan pelajaran teosofie. Gerakan kesusastraan
sesudah tahun 1880 di negeri Belanda tampak juga memengaruhi karyanya. Armijn
Pane adalah pengarang yang berpendirian kukuh. Ia mengibaratkan keyakinannya
seperti pohon beringin. Hal itu diungkapkannya pada pengantar novelnya, Belenggu,
“kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan
yang lain.” Terhadap novelnya, kritikus sastra Indonesia, Dr. H.B. Jassin
mengatakan bahwaBelenggu merupakan
karya sastra modern Indonesia yang pertama menggambarkan kehidupan kaum
intelektual sebelum perang.
Rabu, 22 Mei 2013
Berkarya Di Jalan Sunyi
Barangkali sekarang ini
tidak terlalu banyak orang yang mengenal sosok B. Margono. Bahkan
seniman-seniman terkenal sekarang belum tentu mengenalnya. B. Margono memang
tidak hadir ke tengah-tengah hiruk pikuk dunia seni Indonesia dengan karya seni
rupa yang monumental atau spektakuler. B. Margono juga telah lama meninggal
dunia sehingga kini kita tak akan melihat karya-karya barunya. Tapi di masa
lalu, dalam tingkatan tertentu, karya-karya sederhana B. Margono pernah menjadi
sangat akrab dengan masyarakat di Hindia Belanda. Bagi pembaca majalah Kedjawen
dan buku-buku pengajaran terbitan Balai Pustaka pastilah tidak asing dengan
ilustrasi-ilustrasi karya beliau.
B. Margono memiliki nama
lengkap Raden Bonivasius Margono Darmo Pusoro adalah seorang ilustrator bagi
terbitan-terbitan Balai Pustaka dan beberapa iklan koran pada masa Hindia
Belanda. Ketika B. Margono hidup dan aktif berkarya, Indonesia sebagai sebuah negara
bangsa yang merdeka belum ada. Karena itulah namanya tak banyak dikenal publik
secara luas.Selasa, 14 Mei 2013
Langganan:
Postingan (Atom)